Kamis, 30 September 2010

Pemerintah Tambah Biaya Operasional SLB

Kamis, 30 September 2010
KRISTIANTO PURNOMO/KOMPAS IMAGES
Ilustrasi: Jumlah tenaga pendidik SLB (pegawai negeri sipil ataupun swasta) hanya berkisar 16.000 orang, sedangkan siswa SLB di seluruh Indonesia mencapai 75.000 orang.


JAKARTA, KOMPAS.com — Perhatian terhadap anak-anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di SLB sering kali masih terabaikan. Padahal, memiliki anak berkebutuhan khusus menguras banyak tenaga dan finasial. Oleh karena itu, pemerintah akan memberikan tambahan biaya di luar biaya biaya operasional sekolah) kepada SLB.

“SLB itu sekolah khusus. Karena itu kami bersepakat memberikan perhatian khusus kepada sekolah-sekolah khusus yang memerlukan pelayanan khusus. Yaitu meliputi merehabilitasi, merenovasi kelas-kelas yang tidak layak di sekolah SLB dan fasilitas praktek," kata Menteri Pendidikan RI Mohammad Nuh di sela-sela peluncuran program pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja tunarungu dan tunanetra (MAJU) dan Langkah Pastiku, Rabu (29/09/10).

"Hal itu karena sekolah bagi anak berkebutuhan khusus(SLB) karena peralatannya sulit, seperti huruf braile, audiometric, dan lain-lain," tambahnya,

Menurut Nuh, perhatian khusus diperlukan dikarenakan jumlah SLB tidak banyak, namun sering terabaikan. “Yang memiliki putera puteri yang berkebutuhan khusus sudah sulit, jangan ditambah dengan beratnya tanggung jawab akan finansial. Bantuan operasinalnya BOS, namun BOS kan tidak cukup. Sementara satu kelas anak SLB bukan berisi 40 hingga 50 orang. Karena itu harus ada dana tambahan khusus yang melekat pada anak,” terangnya.

Namun, Nuh belum menyebut berapa dana yang akan diturunkan pemerintah, " Pemenuhan kebutuhan ini (biaya operasional) akan diselesaikan pada tahun 2011," katanya.

Selain dana, Mohammad Nuh juga menyatakan akan membuat formasi khusus guru-guru SLB. "Supaya guru yang awalnya tidak mengerti (mengenai anak SLB) menjadi mengerti," tandasnya.

REFORMASI PENDIDIKAN

REFORMASI PENDIDIKAN
Oleh Drs. Syamsudin, M Si



1. Pendahuluan
Pada dasarnya setiap orang yang mengikuti pendidikan alias bersekolah adalah ingin memperoleh ketrampilan agar ia dapat bekerja mencari nafkah, berperilaku yang baik untuk dapat mempertahankan hidupnya di masyarakat secara terhormat. Selanjutnya akan berkembang keinginan-keinginan lain setelah kebutuhan dasarnya terpenuhi. Namun pada kenyataannya banyak sekali penduduk Indonesia ini yang menganggur setelah mereka mnyelesaikan sekolahnya baik itu lulusan perguruan tinggi maupun lulusan pendidikan menengah, tingkat perekonomian penduduk tetap rata-ratanya rendah. Oleh sebab itu kita harus melihat apa yang menjadi penyebab dari hal di atas, sebab selama ini ada anggapan bahwa pelaksanaan pembangunan pendidikan telah mengalami deviasi dalam artian tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Sampai seberapa jauh deviasi itu dapat diluruskan kembali? Tentunya harus terlebih dahulu mengetahui di mana letak permasalahan bidang pendidikan selama ini.
2. Permasalahan pendidikan
Ada tiga hal permasalahan. bidang pendidikan yang sampai saat ini belum teratasi.
a. Rendahnya tingkat sumber daya manusia Indonesia yang dibuktikan dengan data studi UNDP tahun 2000 yang menyatakan bahwa Human Development Indeks Indonesia menempati urutan ke 109 dari 174 negara atau data tahun 2001 menempati urutan ke 102 dari 162 negara.
b. Cerminan sikap atau watak manusia Indonesia yang masih belum menampakkan sikap yang menjunjung nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan rasa tanggung jawab (sikap kedewasaan).
c. Minimnya keterampilan yang dimiliki, sehingga kemandirian dalam hal ekonomi setelah menyelesaikan sebuah jenjang pendidikan kurang terwujud. Padahal salah satu tujuan pendidikan adalah untuk memandirikan peserta didik khususnya dalam hal ekonomi. Ketiga hal di atas, merupakan sasaran yang harus diwujudkan dalam pembangunan pendidikan melalui perspektif persekolahan.
3. Produk pendidikan saat ini
Sampai saat ini kenyataan menunjukan bahwa secara umum tujuan dari masing-masing Jenjang pendidikan belum terwujud secara optimal. Hal ini terindikasi dari hal-hal berikut.
a. Banyaknya pengangguran baik yang mengantongi ijazah pendidikan dasar sampai yang bergelar sarjana akibat minimnya keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga tidak layak jual baik dalam pasar domestik terlebih-lebih dalam pasar global.
b. Rendahnya akhlak dan moral yang indikasinya adalah maraknya kasus seks dan narkoba serta tindak kekerasan di kalangan siswa atau mahasiswa, kurangnya etika sopan santun, lemahnya disiplin serta rasa tanggung jawab yang indikasinya adalah sulitnya diatur/ditertibkan, yang paling serius adalah terkikisnya rasa persaudaraan berbangsa (nasionalisme) yang cenderung menuju sukuisme, daerahisme, agamaisme, yang akhirnya bermuara pada konplik horisontal dan disihtegrasi bangsa.
c. Rendahnya aspek pengetahuan yang indikasinya selain hasil studi UNDP di atas, juga terindikasi dari nilai ujian, yang pada waktu lalu masih berdasarkan EBTANAS Murni setiap tahun, yang jika patokan kelulusan adalah NEM maka diperkirakan jumlah siswa yang lulus sangat sedikit.
4. Perspektif Sekolah
Variabel-variabel apa yang menyebabkan hal di atas terjadi. Jawaban adalah sebagai berikut.
a. Sejauh mana sekolah memegang prinsip kejujuruan pendidikan?
Secara umum pelaksanaan pendidikan kita. belum memegang prinsip kejujuran, ketegasan, dan penuh rasa tanggung jawab serta sportifitas yang tinggi, baik oleh subjek pendidikan itu sendiri maupun oleh objek pendidikan. Contoh nyata masih maraknya lembaga pendidikan yang dengan sangat mudah mengeluarkan ijazah atau gelar tanpa melalui proses pendidikan yang sangat ketat (istilah kasarnya adalah jual beli gelar atau ijazah). Akibat hal ini, maka tidak heran jika seseorang sarjana yang baru bekerja dan baru memimpin proyek melaksanakan pekerjaanya secara tidak jujur alias korupsi. Hal ini adalah masih berlakunya sistem pengkatrolan nilai baik dalam kenaikan kelas maupun dalam pelulusan. Dengan demikian tidak heran para generasi muda saat ini cenderung belajar santai atau memilih hidup santai atau tidak mau bekerja keras, sehingga lebih condong melaksanakan hal-hal yang gampang mencari duit seperti pengedar narkoba. Inilah resiko apabila pendidikan telah mengabaikan nilai-nilai kejujuran.
b. Sejauh mana sekolah menyelenggarakan fungsi sekolah dengan baik?
Kita tahu bahwa sekolah mempunyai multi fungsi, yaitu lembaga transfer iptek, lembaga penanaman berbagai nilai-nilai sosiokultural, nilai-nilai budi pekerti dan sikap/watak (caracter building), dan lembaga pemberi keterampilan. Saat ini lembaga sekolah hanya berfungsi sebagai tempat pengajaran belaka beraneka mata pelajaran dan itu pun tidak terlaksana dengan baik akibat kurangnya profesionalisme guru. Hilangnya sebagian fungsi sekolah dari multi fungsi menjadi mono fungsi merupakan masalah yang perlu diantisipasi dalam reformasi pendidikan.
Sekolah dewasa ini seolah-olah hanya berfungsi sebagai lembaga pengajaran. Fungsi edukasi dan pelatihan sementara kurang ditonjolkan. Minimnya pemberian aspek keterampilan bagi anak didik khususnya keterampilan yang dapat dikembangkan untuk terjun ke dunia kerja atau berwirausaha apabila mengalami drop out turut memperparah kelemahan dunia sekolah. Selama ini keterampilan yang diberikan di sekolah hanyalah keterampilan yang bersifat mendukung mata pelajaran tertentu. Misalnya, keterampilan praktikum fisika, biologi, dan lain sebagainya. Jika di sekolah diberikan keterampilan beternak ayam, bertani kedelai, dan lain sebagainya yang sesuai dengan potensi daerah setempat, maka apabila si anak didik mengalami drop out, dia akan memiliki keterampilan untuk bekerja sehingga kebermaknaan sekolah dapat dirasakan.
c. Bagaimana manjemen sekolah dapat ditata dengan baik dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh serta diawasi secara ketat.
Semua usaha itu perlu dituangkan dalam peraturan perundangan, sehingga ketiga aspek hasil pendidikan yaitu manusia yang berpengetahuan, berketerampilan, serta memiliki berbagai nilai dapat dicapai. Untuk penataan ini diperlukan pendalaman atau suatu kajian sebelum dituangkan dalam suatu kebijakan.
5. Kinerja Guru, kepala Sekolah, dan Pengawas
Pelaku-pelaku utama di sekolah seperti kepala sekolah, guru, dan pengawas merupakan penentu keberhasilan sekolah itu sendiri adalah.
a. Sejauh mana kinerja mereka tersebut sebagai tenaga kependidikan dalam menjalankan tugas dan fungsinya?
b. Sejauh mana sarana dan prasarana belajar seperti kurikulum, fasilitas pendidikan, sistem evaluasinya, dan proses belajar mengajarnya untuk mendukung pencapaian tujuan pendidikan yang telah digariskan?
Kedua hal ini merupakan kerangka persekolahan yang harus dipikirkan kembali dalam mereformasi pendidikan. Apabila membicarakan kinerja, kita tentunya akan menbicarakan apa tugas dan fungsi masing-masing petugas tersebut. Di samping itu, bagaimana dedikasi dan keprofesionalan masing-masing petugas dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
a. Kepala Sekolah
Di dalam menjalankan tugas, kepala sekolah adalah seorang pemimpin atau seorang manager yang perlu mengetahui fungsi-fungsi manajemen. Kepala sekolah harus membuat suatu perencanaan sekolah setiap tahunnya. Perencanaan program sekolah tersebut yang menyangkut tujuan yang dicapai, materi belajar baik yang bersifta akademis maupun yang bersifat praktis, serta perencanaan tenaga pendidik baik yang ada maupun yang harus dikontrak dari luar seperti tenaga pengajar keterampilan. Kemudian kepala sekolah perlu melakukan pengawasan atau penilaian serta pengendalian terhadap seluruh kegiatan di sekolah sesuai dengan program yang telah ditentukan setiap harinya. Misalnya jika seorang guru kurang disiplin, kurang memberikan pananaman nilai-nilai atau urang menguasai ilmu yang diajarkan, maka kepala sekolah perlu mengambil tindakan perbaikan. Kepala sekolah dapat juga melakukan pertemuan setiap harinya setelah jam sekolah selesai untuk membicarakan berbagai hal sebagai pelaksanaan tugas supervisi, pendeknya Kepala Sekolah harus melaksanakan fungsi Educator, Manager, Administrator, Supervisor Leader, Inovator dan Motivator. Akan tetapi, yang terjadi selama ini, jarang dilaksanakan atau dapat dikatakan tidak pernah dilakukan sehingga sekolah berjalan monoton.
b. Guru
sebagai ujung tombak pelaksanaan tugas fungsi sekolah guru adalah seorang yang profesional. Artinya seorang guru dituntut untuk dapat melaksanakan tugas pengajaran, dan edukasi. Di dalam melaksanakan tugas pengajaran, guru harus menguasai ilmu yang diajarkan, menguasai berbagai metode pengajaran, dan mengenal anak didiknya baik secara lahiriah atau batiniah (memahami setiap anak). Dalam pengenalan anak, guru dituntut untuk mengetahui latar belakang kehidupan anak, lingkungan anak, dan tentunya mengetahui kelemahan-kelemahan anak secara psikologis. Untuk itu, guru harus dapat menjadi seoranag "dokter" yang dapat melakukan "diagnosa" untuk menemukan kelemahan-kelemahan si anak sebelum mengajarkan ilmu yang telah dikuasainya. Setelah itu, baru dia akan memilih metode atau mengulangi sesuatu topik sebagai dasar untuk memudahkan pemahaman si anak terhadap ilmu yang akan diajarkan. Misalnya seorang guru matematika akan mengajarkan topik pangkat bilangan, tentunya guru harus mengetahui sejauh mana anak telah menguasai konsep perkalian. Dengan demikian, seorang guru dalam menjalankan tugasnya harus mampu;
a. berkomunikasi dengan baik terhadap siapa audiensnya,
b. melakukan kajian sederhana khususnya dalam pengenalan anak,
c. menulis hasil kajiannya,
d. menyiapkan segala sesuatunya yang berhubungan dengan persiapan mengajarnya termasuk sipa tampil menarik dan bertingkah laku sebagai guru, menguasai ilmunya dan siap menjawab setiap pertanyaan dari anak didiknya,
e. menyajikan/,meramu materi ajar secara konkrit (metode pengajaran),
f. menyusun dan melaksanakan materi penilaian secara objektif sesuai dengan taksonomi Bloom dan mengoreksinya setiap harinya, dan lain sebagainya.
Untuk itu, dituntut kreatifitas guru, keprofesionalan guru, guru yang menjunjung tinggi etika guru dan tentunya dedikasi yang tinggi untuk melaksanakan tugas keguruannya. Jika hal ini dilakukan oleh masing-masing guru maka benarlah bahwa pekerjaan guru adalah pekerjaan profesional yang tak mungkin dapat dilakukan oleh orang lain.
c. Pengawas
Untuk mengetahui sejauh mana sekolah menjalankan tugasnya, maka peran pengawas sangat vital. Pengawas merupakan jembatan bagi para decition maker yang ada di birokrat untuk memberikan bahan masukan dalam pengambilan kebijakan khususnya yang bersifat teknis. Pengawasan yang dilakukan oleh pengawasan mencakup hal-halyang teknis dan administratif sesuai dengan kebijakan yang telah dikeluarkan dan tentunya yang masih berlaku. Namun tidak jarang para pengawas kurang aktif mengawasi pelaksanaan kebijakan tersebut. Sebut saja contoh bahwa di dalam tahun ajaran baru, sesuai dengan ketentuan Mendiknas atau Dirjen yang berada di bawahnya, pihak sekolah tidak boleh memaksakan menjual buku dari kakaknya atau saudaranya.Akan tetapi, sering terjadi pihak sekolah seakan memaksakan penjualan buku yang sangat memberatkan para orang tua khususnya, dalam masa krisis ini. Padahal pemerintah telah menyediakan buku paket yang siap dipakai di sekolah, Oleh sebab itu, peran pengawas di dalam menjalankan tugasnya perlu dipertanyakan.
Masih banyak Pengawas yang jarang mencari data/masukan khususnya dari masyarakat dalam menyikapi pelaksanaan sekolah. Pengawas hanya datang menemui kepala sekolah kemudian berbincang-bincang sebentar di ruang kepala sekolah entah apa yang diperbincangkan kemudian pergi meninggalkan sekolah itu. Seharusnya pengawas aktif selain mencari data kepada kepala sekolah juga perlu menanyakan guru-guru atau anak murid serta orang tua dan khususnya melihat bagaimana pelaksanaan proses belajar mengajar terjadi serta bagaimana sarana dan prasarana sekolah dan lain sebagainya. Pengawas hanya melaksanakan tugas-tugas semacam kunjungan rutin ke sekolah sehingga pengawas hanya berhubungan dengan kepala sekolah sementara hal yang bersifat teknis pengajaran jarang diawasi.
Inilah sebagian gambaran/perspektif persekolahan di Indonesia yang perlu mendapat perhatian dalam mereformulasikan konsep pendidikan di masa datang.
6. Ciri-ciri sekolah sebagai Mini Society dalam kerangka Reformasi sekolah berdasarkan konsep MBS
a. Sekolah sebagai “Mini Society” mengandung pengertian bahwa sekolah merupakan kelompok masyarakat kecil yang didalamnya memiliki karakteristik tertentu sebagai manifestasi dari kehidupan setiap anggota masyarakat tersebut.
b. Reformasi Sekolah mengandung pengertian bahwa reformasi sekolah merupakan suatu konsep perubahan ke arah peningkatan mutu dalam konteks manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS).
Ciri-ciri
a. Pada level kelas (regulator)
Merupakan representasi dari karakteristik proses pembelajaran di kelas yang dipengaruhi oleh “aturan main” atau regulasi yang dianut oleh guru. Kondisi kelas antara lain : suasana psikologis kelas yang nyaman, proses pembelajaran yang menarik, motivasi belajar siswa yang tinggi, dll.
b. Pada level mediator (profesi)
Merupakan refresentasi dari karakter-karakter profesional para pengelola sekolah
Hal yang harus diperhatikan :
1) Melakukan refleksi diri ke arah pembentukkan karakter kepemimpinan sekolah yang kuat dalam rangka pencapaian visi dan misi sekolah.
2) Melaksanakan pengembangan pengelola sekolah yang kompeten dan berdedikasi tinggi.
c. Pada level sekolah (manajemen)
Merupakan representasi dari karakter kolektif warga sekolah secara keseluruhan/iklim sekolah, seperti : budaya mutu, budaya progresif, demokratis, disiplin, bertanggung jawab, partisipasi warga, inovatif, aman dan tertib, kejelasan visi dan misi, dll.
Hal yang harus diperhatikan :
1) Menumbuhkan komitmen untuk mandiri.
2) Mengutamakan “kepuasan pelanggan (customer satisfaction)”
3) Menumbuhkan sikap responsif dan antisifatif terhadap kebutuhan.
4) Menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan tertib.
5) Menumbuhkan budaya mutu dilingkungan sekolah.
6) Menumbuhkan harapan prestasi yang tinggi.
7) Menumbuhkan kemauan untuk berubah.
8) Mengembangkan komunikasi yang baik.
9) Mewujudkan temwork yang kompak, cerdas, dan dinamis.
10) Melaksanakan keterbukaan manajemen.
11) Menetapkan secara jelas dan mewujudkan visi dan misi sekolah.
12) Melaksanakan pengelolaan tenaga kependidikan secara efektif.
13) Meningkatkan partisipasi warga sekolah dan masyarakat.
14) Menetapkan kerangka akuntabilitas yang kuat.
7. Kondisi reformasi pendidikan
Bagaimana dengan reformasi dalam dunia pendidikan dal;am onteks peresekolahan kita? Harus diakui, reformasi di dunia persekolahan kita berjalan lamban, kalau tidak boleh dibilang “jalan di tempat”. Penghambat laju reformasi sekolah ini antara lain.
a. Faktor kepemimpinan sekolah yang cenderung masih bergaya feodalistis. Ini merupakan faktor kultural yang amat sulit untuk diubah. Masih amat jarang kepala sekolah di negeri ini yang dengan amat sadar mau melakukan perubahan. Status quo dan kenyamanan merupakan jalan yang paling gampang bagi seorang kepala sekolah untuk tetap menduduki kursinya. Ironisnya, ketika ada guru yang dengan kreatif mencoba melakukan inovasi pembelajaran di kelas dianggap “nyleneh” dan tidak becus mengajar, apalagi kalau suasana kelas ramai. Kepemimpinan semacam itu tak lepas dari proses rekruitmen yang salah urus.
b. Munculnya sikap apatis dan masa bodoh dari segenap stakeholder sekolah terhadap perubahan. Komite sekolah sebagai pengganti BP3 yang diharapkan mampu menjadi kekuatan kontrol terhadap kepemimpinan dan manajemen sekolah pun hanya sebatas papan nama. Mereka cenderung menjadi stempel yang mengamini hampir semua kebijakan dan keputusan sang kepala sekolah. Yang lebih celaka, yang menjadi pengurus komite sekolah pada umumnya wali murid yang dinilai tidak banyak tingkah dan bisa diajak kerja sama alias berkongkalingkong untuk mengambil kebijakan yang bisa menguntungkan sang kepala sekolah.
c. Kinerja pengawas sekolah yang buruk. Tugas mereka tak lebih hanyalah melakukan supervisi administrasi di ruang kepala sekolah. Kalau melakukan supervisi kepada guru pun, mereka cenderung bersikap instruktif, komando, bahkan menakut-nakuti. Supervisi klinis yang diharapkan mampu membantu guru dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam kegiatan pembelajaran pun tak bisa jalan. Yang lebih celaka, tak jarang pengawas yang hanya duduk-duduk di ruang kepala sekolah, ngobrol ngalor-ngidul. lantas pulang
C. 8. Reformasi sekolah di negara lain ( Jepang)
Reformasi pendidikan yang pada tataran operasionalnya ada di sekolah, di negara Jepang dilaksanakan pula dalam bentuk reformasi sekolah . Kebijakan melaksanakan reformasi ini dilaksanakan dengan tahapan kegiatan sebagai berikut
a. Rencana Reformasi
Tahun 2001 Kementrian Pendidikan Jepang mengeluarkan rencana reformasi pendidikan di Jepang yang disebut sebagai `Rainbow Plan`. Adapun isinya antar adalah
1. Mengembangkan kemampuan dasar scholastic siswa dalam model pembelajaran yang menyenangkan. Ada 3 pokok arahan yaitu, pengembangan kelas kecil terdiri dari 20 anak per kelas, pemanfaatan IT dalam proses belajar mengajar, dan pelaksanaan evaluasi belajar secara nasional
2. Mendorong pengembangan kepribadian siswa menjadi pribadi yang hangat dan terbuka melalui aktifnya siswa dalam kegiatan kemasyarakatan, juga perbaikan mutu pembelajaran moral di sekolah
3. Mengembangkan lingkungan belajar yang menyenangkan dan jauh dari tekanan, diantaranya dengan kegiatan ekstra kurikuler olah raga, seni, dan sosial lainnya.
4. Menjadikan sekolah sebagai lembaga yang dapat dipercaya oleh orang tua dan masyarakat. Tujuan ini dicapai dengan menerapkan sistem evaluasi sekolah secara mandiri, dan evaluasi sekolah oleh pihak luar, pembentukan school councillor, komite sekolah yang beranggotakan orang tua, dan pengembangan sekolah berdasarkan keadaan dan permintaan masyarakat setempat.
5. Melatih guru untuk menjadi tenaga professional, salah satunya dengan pemberlakuan evaluasi guru, pemberian penghargaan dan bonus kepada guru yang berprestasi, juga pembentukan suasana kerja yang kondusif untuk meningkatkan etos kerja guru, dan pelatihan bagi guru yang kurang cakap di bidangnya.
6. Pengembangan universitas bertaraf internasional
7. Pembentukan filosofi pendidikan yang sesuai untuk menyongsong abad baru, melalui reformasi konstitusi pendidikan (kyouiku kihon hou) (MEXT, 2006).
Hingga tahun 2007, ketujuh poin telah dilaksanakan secara simultan, walaupun di beberapa bagian ada protes dari kalangan guru, masyarakat pemerhati pendidikan. Untuk mewujudkan ketujuh poin tersebut bukan hal mudah, walaupun reformasi pendidikan di Jepang sekalipun mencontoh praktik dari Inggris atau Amerika, poin-poin yang diajukan benar-benar sesuai dengan problematika yang ada di Jepang.
 Jumlah siswa per kelas di kota-kota besar masih cukup besar 35 orang per kelas, tetapi di beberapa propinsi jumlah siswa hanya sepuluh atau belasan orang dikarenakan angka kelahiran yang merosot. Jepang tidak membangun kelas-kelas baru di sekolah tetapi justru memerger sekolah-sekolahnya.
 Pendidikan moral yang diperdebatkan saat ini adalah yang berkaitan dengan nasionalisme, perlu tidaknya menceritakan sejarah perang kepada anak didik, perlu tidaknya menyanyikan lagu Kimigayo atau mengibarkan bendera hi no maru. Pendidikan kedisiplinan tentu saja sudah terbentuk dengan baik di sini.
 Poin nomor 4 merupakan hal yang terlihat nyata dengan banyaknya upaya sekolah membuka diri kepada masyarakat/orang tua, misalnya dengan program jugyou sanka (orang tua yang menghadiri kelas anak2nya), sougou teki jikan (integrated course) yang melibatkan masyarakat setempat, dan forum sekolah.
 Poin ke-5 pun sedang marak dibicarakan saat ini dengan adanya `kyouin hyouka`, sistem evaluasi guru yang dibebankan kepada The Board of Education, dan renew sertifikasi mengajar melalui training atau pendidikan guru.
 Reformasi higher education-nya tampaknya sangat gencar dilakukan dengan berbondong2nya mahasiswa asing datang ke Jepang. Wlauapuna ,ereka harus mendalami bahasa Jang trerlebih dahulu selamam1 tahuan atau atau statusnya sebagai research student sebelum memulai program yang sebenarnya,.
 UU Pendidikan juga menjadi bahan diskusi yang hangat di seantero Jepang. Tidak saja ahlinya yang turun tangan berbicara tetapi juga Teacher Union, forum siswa, senat mahasiswa, bahkan ibu rumah tangga biasa yang terlibat dalam kegiatan volunteer.
b. Reformasi sekolah dalam pembelajaran
Manabu Sato adalah dosen di Universitas Tokyo yang mengemukakan gagasan pentingnya reformasi sekolah. Dalam reformasi sekolah tersebut, menurut Sato—yang terkenal sebagai suhu reformasi sekolah di Jepang— perlu adanya penekanan terhadap pentingnya penciptaan masyarakat belajar di sekolah dan membuka seluas-luasnya proses pembelajaran di kelas untuk diamati oleh siapa saja.
Teknik pembelajaran yang terbuka akan menerima masukan dari siapa saja yang melihatnya, sehingga proses pembelajaran dapat dikembangkan. Teknik yang demikian ini ia namakan sebagai lesson study (studi pembelajaran).
Secara lambat tetapi pasti, beberapa sekolah mulai merasa ingin mengubah diri, ingin terbebas dari keruntuhan sekolahnya. Pikiran-pikiran Manabu Sato diserap, kemudian diterapkan di beberapa sekolah yang bermasalah.
Koichi Ito, yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala Sekolah Dasar (SD) Towada, di sebuah distrik di pinggiran Tokyo, melakukan reformasi dengan lesson study (LS). Ketika dia mengadakan pendidikan dan latihan bagi guru, kegiatan itu diliput oleh TV NHK, kemudian disiarkan secara nasional ke seluruh Jepang.
Dengan konsep pembentukan masyarakat belajar di sekolah dan penerapan LS, sekolah yang runtuh menjadi bangkit dan bersemangat kembali. Sejak saat itu LS menjadi terkenal di seantero Jepang.
SD Hamanogo, yang juga mengalami keruntuhan, melakukan reformasi sekolah yang didukung oleh wali kota setempat. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Gakuyo, yang menerapkan LS sejak tujuh tahun yang lalu, sekarang menjadi SMP percontohan penerapan LS. Ini karena SMP tersebut berhasil bangkit hanya dalam waktu satu tahun menerapkan LS, sehingga siswa yang membolos menjadi nol, kenakalan tidak ada lagi, dan penguasaan materi pelajaran oleh siswa meningkat.
Rasanya kok sangat tidak mungkin seorang guru membiarkan proses pembelajarannya ditonton oleh banyak orang. Guru (atau siapa pun dia) akan merasa rikuh disaksikan orang lain ketika dia mengajar dari awal hingga akhir.
Ini karena guru merasa diri sebagai "raja" yang serba tahu di kelas. Dia mengatur segalanya: mulai dari ketertiban, memimpin, menentukan metode, menilai, dan merasa sebagai sumber ilmu. Pendek kata, guru sebagai pusatnya, sedangkan siswa sebagai pelengkap penderita.
Guru sering berkata keras dan menguasai pembicaraan di kelas. Inilah pangkal terjadinya keruntuhan sekolah di Jepang. Kurang lebih begitulah penjelasan Ito. Kayaknya, kondisi guru yang demikian itu mirip dengan yang terjadi di Indonesia, bukan?
Mengatasinya memang tidak semudah membalik telapak tangan. Perubahannya bukan terletak pada apa yang berada di luar guru, melainkan pada cara pandang guru itu sendiri.
Banyak sekolah di Jepang yang memiliki peralatan lengkap dan buku lengkap, karena pemerintah mengeluarkan undang-undang wajib belajar untuk SD dan SMP. Namun, kebijakan itu tidak juga memperbaiki proses pembelajaran di kelas dan sekolahnya tetap saja menjadi sekolah yang runtuh.
Minat siswa belajar ternyata bukan terletak pada kelengkapan alat, tetapi di hati para guru. Hingga saat ini guru yang menguasai kelas masih banyak di Jepang. Namun, dengan reformasi sekolah, banyak pula guru Jepang yang ingin menjadi guru profesional.
Upaya yang pertama kali dilakukan adalah dengan mengubah guru, sebab menurut Sato yang harus disadari adalah bahwa yang belajar janganlah siswanya, tetapi gurunya. Percuma menuntut siswa rajin belajar kalau gurunya tidak pernah berubah.
Jadi kalau ada sekolah yang "brengsek", yang harus dituntut untuk belajar lebih baik adalah gurunya. Guru hendaknya belajar kepada sesama guru. Caranya, sewaktu melakukan pembelajaran di kelas ia diikuti oleh guru lain, sehingga terjadi peningkatan keprofesionalannya. Selanjutnya, interaksi antara guru-siswa yang harmonis di kelas dan luar kelas memungkinkan bagi guru untuk menangkap apa yang tidak dapat diungkapkan oleh siswa.
Hak untuk meningkatkan kemampuan yang demikian merupakan hak setiap guru. Tugas guru adalah belajar. Dengan belajar, guru akan dapat mengajar lebih baik.
"Perubahan pada guru akan mengakibatkan perubahan pada siswa. Peningkatan pengetahuan guru akan meningkatkan pengetahuan siswa juga," kata Ito dalam suatu ceramahnya di Gedung Tokyo International Center, yang diikuti oleh 10 orang peserta dari Indonesia.
Ito, yang saat ini sudah pensiun, menambahkan, tugas guru adalah mendorong dan membantu anak menemukan sesuatu yang baru. Untuk melatih kepekaan terhadap siswanya, guru hendaknya selalu memerhatikan fakta tentang anak, apa yang dibutuhkan, apa kesulitannya. Cara-cara baru untuk mengatasi anak yang demikian harus terus-menerus diupayakan.
Hal yang sulit dilakukan adalah ketika guru telah bersedia untuk membuka diri, dia harus ditonton banyak orang. Bayangkan kalau kita mengajar ditonton orang, lalu pada akhir proses pembelajaran diadakan forum untuk mengadili guru. Pasti ramai bukan?
Akan tetapi, konsepnya bukan demikian. Di sinilah letak kearifan konsep yang dicanangkan Manabu Sato. Pendekatan dalam LS yang dikembangkan Sato adalah pendekatan dari Timur yang santun, yang sangat mempertimbangkan tata krama ketimuran, yang tidak mengecilkan hati guru, tetapi malah meluapkan semangat untuk terus maju.
Pengamat proses pembelajaran dalam LS (biasanya guru sekolah yang bersangkutan atau dari sekolah lain) hendaknya mengamati bagaimana siswa belajar, bukan bagaimana guru mengajar. Kebaikan-kebaikan siswa diungkap, bukan kejelekan-kejelekan yang menyakitkan hati pengajarnya.
Dalam penerapannya, LS dapat dibedakan menjadi tiga tahapan: perencanaan, pelaksanaan, dan refleksi. Pada tahap perencanaan, para guru di sekolah yang akan melaksanakan LS mengadakan pertemuan untuk merancang proses pembelajaran. Jadi, ini merupakan rencana bersama, bukan rencana seorang guru.
Ditunjuklah seorang guru yang harus melakukan proses pembelajaran berdasarkan rencana bersama tadi, sedangkan yang lain menjadi pengamat. Orang lain yang tidak ikut merancang boleh ikut menjadi penonton. Guru pengamat nantinya harus aktif memberikan masukan, sedangkan penonton hanya merupakan penggembira.
Fokus para pengamat adalah pada perubahan tingkah laku siswa, bahasa tubuh siswa, mimik siswa, dan perkataan siswa. Setelah proses pembelajaran berlangsung, segera dilakukan refleksi pada suatu forum.
Ini bukan merupakan forum pengadilan, sebab rencana pembelajaran adalah milik bersama, karena disusun bersama. Semua pengamat melakukan analisis terhadap apa yang dilihatnya, bukan terhadap apa yang dirasakan atau seharusnya. Saran- saran boleh disampaikan. Semua masukan tersebut sangat berguna dan akan digunakan untuk peningkatan pembelajaran yang akan datang..
Demikianlah sedikit tulisan ini, yang disusun berdasarkan sumber-sumber dari internet serta buku-buku lain. Akhirnya semoga tulisan ini bermanfaat.

BAHAN KEPUSTAKAAN
Endang, Ciri-ciri sekolah sebagai Mini Society dalam kerangka School Reform berdasarkan Konsep MPMBS, 2007, Wordpres.com,
Ramli, Murni, Krainbow Plan, Reformasi Pendidikan di Jepang, 2007, Wordpres.com,
Simbolon, Tony, Reformasi Pendidikan dalam Perspektif Sekolah,www .Depdiknas.go.id
Suwarli, Reformasi sekolah, Kepemimpinan Feodalistis dan KTSP,2007, Wordpres.com,
Syamsuri, Istamari, Ketika Guru Harus Belajar, 2006, www.Kompas.Com,

PENDIDIKAN UNTUK ANAK CERDAS+BERBAKAT ISTIMEWA

PERLUNYA PENDIDIKAN KHUSUS BAGI ANAK BERBAKAT DI INDONESIA

Istilah gifted pertama kali diperkenalkan oleh Guy M Whipple dalam Monroe’s Encyclopedia of Education untuk menunjukkan keadaan anak-anak yang memiliki kemampuan supernormal (Henry, 1920 dikutip dari Passow, 1985 Vol 25 No.1) . Berbagai istilah yang menunjuk pada keadaan gifted sebelumnya bermacam-macam. Seperti yang digunakan oleh William T.Haris tahun 1868 di St.Louis yaitu pupils of more than average capability, brilliant children, pupils of supernormal mentality, dan gifted. Demikian pula, ketika melakukan studinya di tahun 1869, Galton menggunakan istilah eminence, sedangkan Hollingworth (1926) menggunakan istilah gifted dan talented.
Menurut Hagen bahwa istilah gifted ditujukan untuk orang dengan kemampuan akademis tinggi dan istilah talented untuk orang dengan kemampuan unggul seperti dalam bidang seni, musik, dan drama. Masalah anak berbakat telah lama menjadi perhatian masyarakat dalam budaya manapun. Dengan mengetahui sejarah pembinaan anak berbakat (gifted), dapat diketahui pula hal-hal yang dilakukan orang sejak zaman dahulu terhadap anak berbakat tersebut. Misalnya, pada bangsa Yunani, khususnya di kalangan kelas menengah ke atas, anak laki-laki disekolahkan untuk dapat membaca, menulis, berhitung, dan sebagainya. Setelah anak meningkat besar, guru-guru professional dipanggil ke rumah untuk memberikan bimbingan matematika, logika, retorika, budaya umum dan keterampilan berdebat.
Dalam bukunya yang berjudul Republic, Plato memaparkan pandangannya tentang anak berbakat intelektual. Menurut Plato, ada tiga jenis manusia, yaitu jenis emas, jenis perak, dan jenis perunggu . Tiap-tiap jenis ini mempunyai peran tersendiri dalam masyarakat yang berbeda satu dengan yang lain. Jenis manusia emas adalah jenis manusia unggul, yang mempunyai kelebihan daripada jenis lainnya sehingga dikatakan oleh Plato anak-anak dari jenis emas ini sangat memerlukan pendidikan khusus dan amat diperlukan oleh negara untuk menduduki posisi yang penting. Plato menyebutkan bahwa kemampuan lebih yang dimiliki seseorang adalah suatu gift, yakni karunia dari Tuhan yang tidak boleh disia-siakan dan karena itu perlu diperhatikan khusus.
Penulis mengemukakan bahwa perilaku berbakat terdiri dari perilaku yang mencerminkan adanya interaksi dari ketiga kluster ciri dasar manusia yang meliputi:
1. Kemampuan baik di atas rata-rata/kemampuan umum:
Kemampuan tingkat tinggi dalam berpikir abstrak verbal dan numeral, hubungan spasial, ingatan, dan kelancaran kata-kata. Proses informasi yang otomatis, cepat, akurat, dan selektif dalam pencarian informasi.
2. Kreativitas :
Kelancaran, keluwesan, dan orisinalitas dalam berpikir. Peka terhadap detail, cita rasa seni dalam gagasan dan segalanya, mau bertindak dan bereaksi terhadap ransangan luar serta gagasan dan perasaan orang lain.
3. Tanggung jawab pada tugas / task commitment:
Kluster ketiga dari ciri yang konsisten ditemukan pada orang yang tergolong kreatif produktif adalah memiliki tanggung jawab, suatu bentuk halus dari motivasi. Melalui autobiografi, diungkapkan secara jelas bahwa salah satu faktor kunci keberhasilan orang tersebut adalah kemampuan mereka untuk secara total terlibat dalam pekerjaan yang ditekuni untuk waktu yang lama.
Kondisi pendidikan anak berbakat atau talented di Indonesia :
1. Belum adanya lembaga khusus
2. Belum adanya kurikulum khusus
3. Pembelajaran berfokus pada daya serap materi
4. Subsidi pemerintah sangat terbatas
Anak berbakat merupakan kekayaan masyarakat yang memerlukan pendidikan yang berbeda dari anak lain. Menurut John Fredrich Feldhusen (1985a) menyebutkan, perlunya anak berbakat intelektual diberi pendidikan khusus dengan alasan kebutuhan aktualisasi diri. Penulis mengutip kesimpulan pandangan Barbara Clark (1983) menyebutkan beberapa alasan anak berbakat (gifted) membutuhkan pendidikan khusus :
1. Keberbakatan muncul dari proses interaktif dimana tantangan dari ransangan lingkungan membawa keluar kapasitas yang dimiliki diri sendiri dan memprosesnya.
2. Anak berbakat dapat segera menemukan gagasan dan minat mereka yang berbeda dari anak sebayanya.
3. Kontribusi anak berbakat pada masyarakat berada pada seluruh aspek kehidupan, dan proporsional di dalam keseluruhan.
Dengan alasan-alasan tersebut dapatlah dilihat bahwa pemberian pelayanan pendidikan khusus bagi anak berbakat intelektual mencakup baik untuk dirinya sendiri maupun untuk lingkungan sekitarnya, masyarakat dan bangsa.

DAFTAR PUSTAKA :
1.H.A,Reni.2005.Identifikasi Keberbakatan Intelektual Melalui Metode Non-Tes.Jakarta: Grasindo
2. Anggai,dkk.2010.Psikologi Sosial.Jakarta: Lab.Sosial Politik UNJ

Selasa, 28 September 2010

RESUME 2: PROFESI PENDIDIKAN

PERLUNYA PENDIDIKAN KHUSUS BAGI ANAK BERBAKAT DI INDONESIA

Istilah gifted pertama kali diperkenalkan oleh Guy M Whipple dalam Monroe’s Encyclopedia of Education untuk menunjukkan keadaan anak-anak yang memiliki kemampuan supernormal (Henry, 1920 dikutip dari Passow, 1985 Vol 25 No.1). Berbagai istilah yang menunjuk pada keadaan gifted sebelumnya bermacam-macam. Seperti yang digunakan oleh William T.Haris tahun 1868 di St.Louis yaitu pupils of more than average capability, brilliant children, pupils of supernormal mentality, dan gifted. Demikian pula, ketika melakukan studinya di tahun 1869, Galton menggunakan istilah eminence, sedangkan Hollingworth (1926) menggunakan istilah gifted dan talented.
Menurut Hagen bahwa istilah gifted ditujukan untuk orang dengan kemampuan akademis tinggi dan istilah talented untuk orang dengan kemampuan unggul seperti dalam bidang seni, musik, dan drama. Masalah anak berbakat telah lama menjadi perhatian masyarakat dalam budaya manapun. Dengan mengetahui sejarah pembinaan anak berbakat (gifted), dapat diketahui pula hal-hal yang dilakukan orang sejak zaman dahulu terhadap anak berbakat tersebut. Misalnya, pada bangsa Yunani, khususnya di kalangan kelas menengah ke atas, anak laki-laki disekolahkan untuk dapat membaca, menulis, berhitung, dan sebagainya. Setelah anak meningkat besar, guru-guru professional dipanggil ke rumah untuk memberikan bimbingan matematika, logika, retorika, budaya umum dan keterampilan berdebat.
Dalam bukunya yang berjudul Republic, Plato memaparkan pandangannya tentang anak berbakat intelektual. Menurut Plato, ada tiga jenis manusia, yaitu jenis emas, jenis perak, dan jenis perunggu. Tiap-tiap jenis ini mempunyai peran tersendiri dalam masyarakat yang berbeda satu dengan yang lain. Jenis manusia emas adalah jenis manusia unggul, yang mempunyai kelebihan daripada jenis lainnya sehingga dikatakan oleh Plato anak-anak dari jenis emas ini sangat memerlukan pendidikan khusus dan amat diperlukan oleh negara untuk menduduki posisi yang penting. Plato menyebutkan bahwa kemampuan lebih yang dimiliki seseorang adalah suatu gift, yakni karunia dari Tuhan yang tidak boleh disia-siakan dan karena itu perlu diperhatikan khusus.
Penulis mengemukakan bahwa perilaku berbakat terdiri dari perilaku yang mencerminkan adanya interaksi dari ketiga kluster ciri dasar manusia yang meliputi:
1. Kemampuan baik di atas rata-rata/kemampuan umum:
Kemampuan tingkat tinggi dalam berpikir abstrak verbal dan numeral, hubungan spasial, ingatan, dan kelancaran kata-kata. Proses informasi yang otomatis, cepat, akurat, dan selektif dalam pencarian informasi.
2. Kreativitas :
Kelancaran, keluwesan, dan orisinalitas dalam berpikir. Peka terhadap detail, cita rasa seni dalam gagasan dan segalanya, mau bertindak dan bereaksi terhadap ransangan luar serta gagasan dan perasaan orang lain.
3. Tanggung jawab pada tugas / task commitment:
Kluster ketiga dari ciri yang konsisten ditemukan pada orang yang tergolong kreatif produktif adalah memiliki tanggung jawab, suatu bentuk halus dari motivasi. Melalui autobiografi, diungkapkan secara jelas bahwa salah satu faktor kunci keberhasilan orang tersebut adalah kemampuan mereka untuk secara total terlibat dalam pekerjaan yang ditekuni untuk waktu yang lama.
Kondisi pendidikan anak berbakat atau talented di Indonesia :
1. Belum adanya lembaga khusus
2. Belum adanya kurikulum khusus
3. Pembelajaran berfokus pada daya serap materi
4. Subsidi pemerintah sangat terbatas
Anak berbakat merupakan kekayaan masyarakat yang memerlukan pendidikan yang berbeda dari anak lain. Menurut John Fredrich Feldhusen (1985a) menyebutkan, perlunya anak berbakat intelektual diberi pendidikan khusus dengan alasan kebutuhan aktualisasi diri. Penulis mengutip kesimpulan pandangan Barbara Clark (1983) menyebutkan beberapa alasan anak berbakat (gifted) membutuhkan pendidikan khusus :
1. Keberbakatan muncul dari proses interaktif dimana tantangan dari ransangan lingkungan membawa keluar kapasitas yang dimiliki diri sendiri dan memprosesnya.
2. Anak berbakat dapat segera menemukan gagasan dan minat mereka yang berbeda dari anak sebayanya.
3. Kontribusi anak berbakat pada masyarakat berada pada seluruh aspek kehidupan, dan proporsional di dalam keseluruhan.
Dengan alasan-alasan tersebut dapatlah dilihat bahwa pemberian pelayanan pendidikan khusus bagi anak berbakat intelektual mencakup baik untuk dirinya sendiri maupun untuk lingkungan sekitarnya, masyarakat dan bangsa.

DAFTAR PUSTAKA :
1.H.A,Reni.2005.Identifikasi Keberbakatan Intelektual Melalui Metode Non-Tes.Jakarta: Grasindo
2. Anggai,dkk.2010.Psikologi Sosial.Jakarta: Lab.Sosial Politik UNJ

Senin, 27 September 2010

PARADIGMA BARU MANAJEMEN PENDIDIKAN (RESUME PROFESI PENDIDIKAN)


PARADIGMA BARU MANAGEMEN PENDIDIKAN (RESUME PROFESI PENDIDIKAN)

Paradigma dalam disiplin intelektual adalah cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktek yang di terapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama, khususnya, dalam disiplin intelektual .Untuk mencapai sesuatu yag baik maka kita harus memiliki paradigma yang baik pula.Untuk memulai paradigma yang baik maka kita harus memulai dari kita sendiri yaitu:

1.Kompetetif(kemampuan),apabila kita memiliki kemampuan maka kita harus tekun dalam melatih kemampuan kita tersebut agar tidak kalah dalam bersaing

2.Kemauan,apabila kita memmiliki kemauan apapun bias tercapai karena dalam proses pencapain yang kita inginkan maka harus diiringi rasa kemauan yang tinggi dalam mencapai hal tersebut

3.Etika,setiap peroses persaingan pasti ada yang namanya etika/aturan apabila kita tidak mengikuti etika yg sudah dibuat maka kita telah melanggar peraturan tersebut

4.Transparan, apapun yang dibuat atau dilakukan harus ada tranparansi/keterbukaan tidak ada yang boleh ditutupi agar semuanya jelas

5.Spesialisasi,dalam hidup setiap orang harus memiliki spesialisasi agar kita memiliki nilai lebih dibandingkan orang lain karena spesialisai suatu bidang sangat penting dalam dunia kerja

6.Professional,dalam melakukan pekerjaaan yg kita tekuni maka kita juga harus dituntut keprofessionalan kita agar hasil kerja yang kita lakukan memuaskan

7.Dinamis,dalam membuat sesuatu kita harus dinamis,inovatif agar sesuatu yang kita buat tidak mononton dan membosankan

8.Adaptif,kita harus mampu beradaptasi dimanapun baik dilingkungan rumah atau pun di lingkungan kerja tanpa harus menghilangkan jati diri atau karakteristik kita sendiri

Tuntutan Terhadap “Kompetensi SMD”
1.Pengetahuan wawasan global
- Konseptual yang integrative yang aplikatif
- Orientasi pada solusi,inovasi,&kreatifitas
- Nilai-nilai Universal (lintas Budaya)

2.Keterampilan Global
- Komunikasi multibudaya
- Pemanfaatan teknologi informasi
- Pengembangan Intelektual, Emosional, dan Adversity Skill.

3.Sikap dan prilaku
- Dinamis dan flexible
- Inisiatif dan proaktif
- Inovatif dan kreatif
- Mandiri dan survive